Rabu, 29 Mei 2013

LUKISAN PERSAHABATAN

LUKISAN PERSAHABATAN

Beribu warna masa mudaku

tertuang jelas pada kanvas kenangan

ungu gemerlap tawa dan kelabunya duka

terpoles tulus dari cat perhatian 

Dengan kuas kejujuran

kupoles dan kuberi warna lagi

dan jadilah lukisan persahabatan

Tiga dara dengan blazer abu-abu

Nanti... lukisan itu akan tergantung di dinding hati

setiap saat selalu bisa ke memandang

dan di masa depan akan selalu kurindukan

Senin, 06 Mei 2013

Hukum Perkaitan

1.Pengertian
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang, dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang- undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hokum ( legal relation).
Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas. Perikatan yang terdapat dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:
  1. Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
  2. Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
  3. Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
  4. Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya
2.Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
3.Azas-azas dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
  • Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
  • Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
  1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri. Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
  2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian. Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
  3. Mengenai Suatu Hal Tertentu. Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
  4. Suatu sebab yang Halal. Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
  1. Azas Kebebasan Berkontrak. Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
  2. Azas Konsensualisme. Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
  • Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
  • Cakap untuk membuat suatu perjanjian
  • Mengenai suatu hal tertentu
  • Suatu sebab yang halal
4.Wanprestasi dan akibat-akibatnya

Wanprestasi adalah prestasi yang tidak terpenuhi
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata
Ada dua alasan: 
1. Karena Wanprestasi.kesalahan, kesengajaan, kekhilafan dari debitur 
2. Overmacht.Karena keadaan memaksa 
Dalam Wanprestasi tentu ada kelalaian/alpa, cidera janji.Kesengajaan, kesalahan 

5. Hapusnya Perikatan 
Perihal hapusnya perikatan
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan yaitu :
  1. Pembayaran
  2. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
  3. Pembaharuan utang (inovatie)
  4. Perjumpaan utang (kompensasi)
  5. Percampuran utang.
  6. Pembebasan utang.
  7. Musnahnya barang yang terutang
  8. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata adalah :
  1. Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
  2. Kadaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).

Sumber :

Minggu, 05 Mei 2013

Hukum Perdata

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. 

1. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.

2. Sejarah Singkat Hukum Perdata

Sejarah membuktikan bahwa hukum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata eropa. Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.




3. Pengertian & Keadaan Hukum di Indonesia
 Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur antara perorangan dalam masyarakat. Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua Hukum Privat Materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana
Mengenai keadaan hukum perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada 2 faktor yaitu :
  • Faktor Ethnis, disebabkan keanekaragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara Indonesia ini terdiri dari beberapa suku bangsa.
  • Faktor Hostia Yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu :
*Golongan Eropa dan yang dipersamakan.
*Golongan Bumi Putera ( pribumi / Bangsa Indonesia asli ) dan yang dipersamakan. 
*Golongan Timur Asing ( Bangsa Cina, India, Arab )

4.Sistematika Hukum Perdata di Indonesia 

Sistematika Hukum Perdata di Indonesia ada 2 pendapat.

Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlaku Undang-Undang berisi:

Buku I : Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.

Buku II : Berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.

Buku III : Berisi tentang perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.

Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum/ Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:

I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)

Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

II. Hukum Kekeluargaan

Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
- Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.

III. Hukum Kekayaan

Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dari kewajiabn orang itu dinilaikan dengan uang.

IV. Hukum Warisan

Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu Hukum Warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.


SUMBER :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/sistematika-hukum-perdata-di-indonesia-2/

Subyek dan Obyek Hukum

1.Subyek Hukum
Subyek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.

  • Manusia
Setiap manausia sudah dikhodratkan atau secara alamiah menjadi subyek hukum, namun setiap manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
  • Badan Hukum
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "Person" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia.

Perbedaan Badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak, adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberikan hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

2.Obyek Hukum
Obyek hukum adalah benda.Benda adalah segala sesuatu yang bergunabagi subyek hukum atau segala sesuatu menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek dari hak milik.
Berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan):
1. Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud. Yang meliputi :
a. Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan
b. Benda tidak bergerak

2. Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderen)
Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.


3.Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai Pelunasan Utang (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang adalah hak jaminan yang melekat pada kreditur yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan ekekusi kepada benda melakukan yang dijadikan jaminan, jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).
Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:


  • Jaminan yang bersifat umum : Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinila dengan uang dan benda tersebut bisa dipindahtangankan haknya pada pihak lain.
  • Jamian yang bersifat khusus: Gadai, Hipotik, Hak Tanggungan, Fidusia.

SUMBER :